MIPI Tegaskan Regulasi Pelantikan Kepala Daerah pada Pilkada Serentak 2024 Harus Disegerakan

banner 468x60

WANMEDIA.ID, JAKARTA – Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menegaskan, regulasi pelantikan kepala daerah pada Pilkada Serentak tahun 2024 harus disegerakan.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir mengatakan, Pilkada Serentak 2024 sudah mau dilakukan, tetapi pelantikan belum banyak dipikirkan. Padahal merujuk pada pengalaman sebelumnya, sengketa bisa terjadi jika pelantikan dan regulasinya tak ditetapkan. Untuk itu, kepastian kapan kepala daerah terpilih ini akan dilantik sangat dibutuhkan. Apalagi kali ini pilkadanya dilakukan secara serentak di 514 kabupaten/kota.

Pernyataan itu disampaikan Bahar saat membuka webinar mingguan MIPI bertema “Mengawal Keselarasan Pilkada Serentak dengan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tahun 2024-2029”, Sabtu (26/8/2023).

Bahar melanjutkan, penetapan penjabat (Pj) yang marak ditetapkan sejak tahun 2022 sifatnya hanya sementara, dan pada tanggal 31 Desember 2024 nanti semua Pj. kepala daerah berakhir masa jabatannya. Jika kesementaraan ini terus berjalan di daerah, maka akan terjadi potensi ketidakstabilan. Belum lagi tugas pokok dan fungsi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan dasar bisa terhambat.

“MIPI itu menjadi pihak terdepan untuk mendiskusikan yang bisa jadi orang tidak pikirkan. Bisa jadi orang lain tak tertarik untuk membahas. Tapi masalah Pilkada dan pemerintahan itu menjadi sesuatu yang penting karena rentetan implikasinya akan panjang,” katanya.

Hal ini diperkuat oleh narasumber eks Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI Muhammad. Dia menjabarkan, regulasi yang ideal dalam Pemilu/Pilkada memenuhi empat syarat, yaitu tidak multitafsir, tidak tumpang tindih, dapat dilaksanakan, dan tidak ada kekosongan hukum. Selain itu, Indonesia bisa dikatakan melaksanakan Pemilu secara demokratis karena tahapan program, jadwal, dan hasilnya tidak bisa diprediksi. Prosedurnya jelas dan bisa diikuti oleh semua orang, termasuk soal pelantikan.

“Pelantikan serentak ini harus segera diatur melalui mekanisme. Tadi sudah dijelaskan bagaimana dampak dan mudoratnya jika pelantikan tidak dilakukan pada waktu yang sama, tidak diatur oleh regulasi,” ujarnya.

Dia juga mendorong agar pemerintah Indonesia segera membentuk Peradilan Pemilu agar mengefektifkan penyelesaikan semua masalah dan sengketa pemilu/pemilihan. Sebab Pilkada/pemilihan lebih tinggi kadar dan potensi konfliknya dibandingkan pemilu nasional karena adanya faktor kedekatan konstituen/pemilih/masyarakat dengan elit lokal/kandidat, serta bersentuhan langsung dengan kepentingan lokal.

Narasumber lainnya, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menyebut ada isu percepatan pelaksanaan Pilkada Serentak dari yang awalnya pada tanggal 27 November 2024. Hal ini dalam rangka menjembatani potensi konflik yang terjadi setelah pilkada, termasuk soal pelantikan.

Jika hal itu terjadi, maka perlu dipikirkan terkait pelaksanaan tahapan pemilu dan pilkada yang berlangsung saat ini. Menurutnya tidak gampang menetapkannya, ada preferensi dan pengalaman pilkada di tahun lalu yang perlu menjadi perhatian.

Dia mengungkapkan, semisal tetap dilakukan pada bulan November, maka harus diberikan waktu khusus untuk perkara sengketa selama 1-2 bulan. Sehingga harapannya pada bulan Februari 2025 semua kepala daerah telah dilantik. Nantinya hal ini akan dicarikan jalan dan masih mengalami proses penggodokan.

“Ada pembicaraan dengan Pak Menteri (Mendagri) dalam rangka sinergitas ini, ada juga kawan-kawan yang bicara, walaupun dilaksanakan di bulan November, tidak ada persoalan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana kita menata pelaksanaan pelantikan itu tidak berlarut-larut,” tandasnya.

Adapun Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando memberikan komentar, ketika jadwal Pilkada dimajukan semisal dari bulan November menjadi September atau Agustus, maka diperlukan langkah siap-siap dan berjaga-jaga terkait potensi persoalan yang mungkin terjadi. Jangan sampai malah menggali masalah lain.

Potensi konflik tersebut menurutnya bisa berisiko, karena volume kerja penyelenggara Pemilu jadi dobel. Untuk itu, jika dimajukan, harus memikirkan beban kerja dari penyelenggara pemilu.(Saripudin/rls)

MIPI

banner 468x60

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *